Mk. Patofisiologi Senin,
19 Maret 2012
DEMAM TIFOID DAN
FOODBORNE DISEASE AKIBAT BAKTERI
Oleh:
Farida Hanum
|
I14100008
|
Dinda
Ayuvalira D
|
I14100009
|
Rossy
Febriani
|
I14100085
|
Lidyawati
Gunawan
|
I14100149
|
Novia
Luthfiana Putri
|
I14100150
|
Koordinator Mata
Kuliah:
dr. Yekti Hartati Effendi
Dosen Pembimbing:
dr. Naufal Muharam Nurdin, S.Ked

DEPARTEMEN
GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS
EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lingkungan adalah bagian dari
kehidupan manusia yang sangat penting. Perubahan yang terjadi pada lingkungan
dapat mengakibatkan pengaruh besar padakehidupan manusia. Pengaruh tersebut
dapat bersifat positif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, akan tetapi
dapat juga bersifat negatif yang mengakibatkan terganggunya kesehatan manusia.
Lingkungan yang buruk berperan penting
dalam penyebaran penyakit menular. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
penyakit tersebut antara lain adalah sanitasi umum, temperatur, polusi udara,
dan kualitas air. Faktor social ekonomi seperti kepadatan penduduk, kepadatan
hunian, dan kemiskinan juga mempengaruhi penyebarannya. Demam
tifoid adalah suatu infeksi bakterial pada manusia yang disebabkan oleh Salmonella
typhiditandai dengan adanya demam berkepanjangan, nyeri
perut, diare, serta kadang-kadang komplikasi perdarahan dan perforasi usus
(Soegijanto 2002).
Berdasarkan
laporan World Health Organization
(WHO) tahun 2000 terdapat 21.500.000 kasus demam tifoid di seluruh dunia,
200.000 di antaranya meninggal karena penyakit tersebut dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,9%. Laporan
WHO tahun 2003 terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia, dimana
600.000 di antaranya meninggal (WHO 2008). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
2005, demam tifoid menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2004 yaitu sebanyak 77.555 kasus. Menurut hasil
Survei Kesehatan Nasional tahun 2001, demam tifoid menempati urutan ke-8 dari
10 penyakit penyebab kematian umum di Indonesia sebesar 4,3%. Pada tahun 2005
jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116 kasus dan menempati urutan
ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
(Depkes RI 2006).
Penularan
penyakit ini melalui makanan, minuman, atau kebiasaan tidak mencuci tangan
sebelum makan sehingga menyebabkan kuman tertelan dan berkembang biak dalam
tubuh. Kuman ini tahan terhadap asam lambung sehingga bila tertelan kuman tidak
akan dihancurkan oleh asam lambung. Penggunaan obat – obat yang mengurangi atau
menetralkan asam lambung atau pada keadaan – keadaan yang menyebabkan asam
lambung berkurang akan mempermudah kuman ini menimbulkan infeksi (Pharos 2010).
Melalui
sistem limfatik, kuman dalam tubuh dapat terbawa sampai ke hati, limpa, kantong
empedu, sumsum tulang. Karena cara penularan demam tifoid adalah melalui
makanan dan minuman yang tercemar, maka demam tifoid lebih banyak ditemui pada
lingkungan dengan higiene yang buruk. Demam tifoid banyak menginfeksi anak –
anak usia sekolah, remaja, dan pemuda. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan
membeli makanan di luar dengan kebersihan yang tidak terjamin (Pharos 2010).
Selain
penyakit demam tipoid, lingkungan yang tidak higienis dapat menyebabkan
keracunan makanan atau foodborne disease.
Menurut Arisman 2009, keracunan makanan adalah penyakit yang sering terjadi
di Indonesia. Definisi keracunan makanan adalah penyakit yang terjadi setelah
menyantap makanan mengandung racun yang dapat berasal dari bakteri, jamur,
pestisida, atau virus. Pada dasarnya, racun ini mampu merusak semua organ tubuh
manusia, tetapi yang paling sering terganggu adalah saluran cerna dan sistem
syaraf. Banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang terkena keracunan
makanan, antara lain adalah cara pengolahan makanan yang tidak higienis dan
tidak memadai sehingga bakteri seperti Salmonella
dapat berkembang biak dengan cepat pada makanan yang akan dikonsumsi.
Makanan yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen, virus, maupun
kontaminan lain dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Prevalensi
terjadinya penyakit seperti demam tipoid dan keracunan makanan masih tergolong
tinggi di Indonesia karena masih kurangnya perhatian masyarakat terhadap
higienitas pengolahan pangan.Oleh karena itu, kedua penyakit ini perlu dikaji
lebih dalam lagi mengenai etiologi, epidemiologi, pathogenesis, dan
patofisiologi dari penyakit demam tifoid dan keracunan makanan.
Tujuan
1. Mengetahui etiologi, tanda dan gejala dari demam tifoid
danfoodborne disease akibat bakteri
2. Mempelajari dan memahami patofisiologi foodborne disease dan demam tifoid serta
pengaruhnya terhadap organ tubuh lain
3. Mengetahui gangguan intake, pencernaan dan penyerapan
yang diakibatkan oleh foodborne disease
terutama karena bakteri dan demam tifoid
4. Mempelajari dan memahami prinsip-prinsip pencegahan dan
terapi dari foodborne disease dan
demam tifoid di bidang gizi.
PEMBAHASAN
A. FOODBORNE
DISEASE
Tanda dan Gejala Foodborne Disease
Infeksi
terjadi ketika organisme hadir dalam jumlah yang lebih besar karena akan
berlangsung lebih cepat sehingga host akan menjadi sakit. Demam adalah
gejala umum infeksi, tetapi tergantung pada tempat infeksi, gejala lain mungkin
ada juga. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan terkadang kematian
(Asyhari 2011).
Biasanyatandapertama
infeksiadalah demamminimal100.4F, tetapi tidak selalu.Tanda-tanda
lainyang khusus untuktempat infeksidandapat bervariasi sesuai
denganusiapenderitadanmikroorganisme(Asyhari 2011).
Tabel
2 Tanda dan Gejala Foodborne Disease
Bagian
yang Terinfeksi
|
Tanda
dan Gejala
|
Urin
|
Demam,urgensi,frekuensi,disuria(nyeri buang air kecil),suprapubik
(nyeripada daerahkandung kemih) |
Luka
|
Demam, purulen(nanah), bau,sakit,bengkak, panas, kemerahan
|
Paru-paru
|
Demam,rales, batuk,nyeri
dada,sesak napas,dada yang tidak normalx-ray
|
Darah
|
Demam,menggigil,hipotensi(tekanan
darahrendah:90mmHgsistolik), oliguria(urincm3/jam pengeluaran)
|
Sistem saraf pusat
|
Sakip kepala, pusing, demam. bingung, perubahan
status mental, kakuleher,
iritabilitas, agitasi, ruam kulit (meningitis)
|
Sistem pencernaan
|
Kemungkinandemam,diare,tinja berdarah, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan
|
Etiologi Foodborne Disease
Di
tahun 1993, WHO melaporkan bahwa sekitar 70% kasus diare yang terjadi di Negara
berkembang disebabkan oleh makanan yang telah tercemar.Pencemaran ini sebagian
besar berasal dari industry boga dan rumah makan.Berdasarkan hasil survey di
Amerika Serikat, 20% kasus terjadi di rumah makan, dan 3% ditemukan di industri
pangan (Arisman 2009).
Centers of Disease Control and Prevention, sebuah
lembaga pengawasan penyakit menular di Amerika Serikat melaporkan 14 faktor
yang dapat menyebabkan keracunan makanan. Faktor-faktor tersebut adalah (1)
pendinginan yang tidak memadai: 63%; (2) makanan terlampau cepat disajikan:
29%; (3) kondisi tempat yang kurang dapat mempertahankan panas dengan baik:
27%; (4) higiene yang buruk pada konsumen makanan:26%; (5) pemanasan ulang yang
tidak memadai: 25%; (6) alat pembersih yang tidak baik: 9%; (7) mengonsumsi
makanan yang basi: 7%; (8) kontaminasi silang: 6%; (9) memasak atau memanaskan
makanan secara tidak memadai:5%; (10) wajan berlapis bahan kimia berbahaya:
4%;(12) penggunaan zat aditif secara berlebihan: 2%; (13) tidak sengaja
menggunakan zat aditif kimia: 1%; (14) sumber bahan makanan yang memang tidak
aman: 1% (Arisman 2009).
Seseorang
yang menderita keracunan makanan dapat disebabkan karena makanan tersebut
terkontaminasi oleh salah satu dari tiga hal berbahaya berikut, yaitu bahaya
biologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik.Bahaya biologi adalah organisme hidup
atau materi organik, contohnya adalah bakteri, jamur, kapang, virus, dan
parasit.beberapa dari organisme tersebut adalah mikroorganisme yang tidak dapat
dilihat dengan mata biasa, melainkan harus menggunakan mikroskop. Bahaya kimia
adalah senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan sistem kehidupan. Bahaya
kimia berkisar dari lingkup pertanian dan kontaminasi industri, termasuk pupuk
dan pembasmi hama. Bahaya fisik meliputi materi asing seperti kaca, logam,
batu, plastik dan kayu yang dapat berbahaya jika tertelan oleh manusia (Brown
2008).
Bahaya
biologi(Biological Hazards) memiliki
variasi yang sangat luas karena dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yang susah untuk dicegah, karena organisme tersebut dapat dengan
mudah hidup di mana saja. Namun, bahaya biologi tersebut dapat ditanggulangi
dengan cara memasak makanan dengan cara yang memadai. Lebih dari 90% foodborne illnesses terjadi karena bakteri, namun hanya 4% dari
bakteri yang teridentifikasi merupakan patogenik yang dapat menyebabkan
penyakit. Sisanya, sekitar 96% adalah bakteri yang tidak berbahaya. Meskipun
hanya 4%, bakteri pathogen dapat menyebabkan tiga tipe foodborne illness (keracunan makanan), yaitu foodborne infections, foodborne toxicoinfections, dan foodborne
intoxications (Brown 2008).
Foodborne
infections terjadi
apabila mikroorganisme pathogen terkonsumsi dan kemudian menetap di dalam
tubuh. Biasanya, jasad renik ini memperbanyak diri di dalam saluran cerna
sambil mengiritasi dinding saluran cerna, bahkan terkadang menginvasi jaringan.
Contoh dari foodborne infections
ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel
1 Contoh Foodborne Infections
Bakteri
|
Durasi
|
Gejala umum
|
Tipe makanan
|
Kontaminasi
|
Pencegahan
|
Listeria monocytogenes
|
3-70 hari
|
Meningitis
pada bayi, meningoencephalitis
|
Susu mentah, keju,
sayuran
|
Terkontaminasi
oleh hewan atau tanah, baik langsung maupun tidak langsung
|
Susu pasteurisasi, pemasakan
|
Salmonella sp.
|
2-7 hari
|
Diare, nyeri
perut, demam, mual, dehidrasi
|
Makanan
mentah seperti unggas, daging, susu
|
Terinfeksi
oleh hewan atau kotoran manusia
|
Susu pasteurisasi, pemasakan
|
Shigella sp.
|
4-7 hari
|
Diare, demam,
muntah, kram
|
Makanan
mentah
|
Kotoran
manusia melalui air
|
Sanitasi yang
memadai, pemasakan
|
Streptococcus pyogenes
|
1-3 hari
|
Diare,
apendiksitis, mual
|
Makanan
mentah atau kurang matang, seperti daging
|
Infeksi
hewan, kontaminasi air
|
Memasak
dengan benar
|
Salmonella adalah salah satu penyebab utama pada kontaminasi
makanan dan air. Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella adalah daging, ikan, unggas, telur, dan susu serta
olahannya. Salmonella memiliki sifat
sensitif terhadap pemanasan, namun terkadang juga dapat resisten terhadap
panas. Pemasakan yang memadai dapat mencegah terjadinya keracunan makanan
karena Salmonella. Tingkat higiene
seseorang yang rendah dalam menangani makanan dapat menjadi penyebab nomer satu
infeksi Shigella. Mencuci tangan
sebelum memegang makanan dapat mencegah penyebaran Shigella (Brown 2008).
Foodborne intoxications tejadi akibat mengonsumsi makanan yang
telah mengandung racun. Racun tersebut berasal dari pertumbuhan bakteri yang
memproduksi racun, seperti Staphylococcus
aureus dan Clostridium botulinum.
Staphylococcus aureus dapat ditemukan di manapun. Staphylococcus aureus dapat hiduo pada tenggorokan dan saluran
nasal, sehinga dapat dengan mudah menyebar melalui bersin, batuk, dan kontak
tangan dengan makanan. Foodborne
toxicoinfections terjadi jika mikroorganisme yang terkonsumsi mampu menghasilkan
racun sambil bereproduksi di dalam saluran pencernaan. Artinya, bukan
mikroorganismenya yang berbahaya, namun racun yang dihasilkannya. Contoh dari foodborne toxicoinfections adalah karena
Escherichia coli, Campylobacter jejuni, dan
Vibrio (Brown 2008).
Patofisiologi Terjadinya Foodborne
Disease
Bakteri
menyebabkan sakit melalui produksi enzim
dan racunnya yang merusak jaringan penderita. Bakteri juga dapat merusak
jaringan secara tidak langsung dengan menyebabkan reaksi pertahanan yang
berlebihan yang berkemampuan merusak jaringan. Agen penyebab infeksi sering
memperlihatkan spesifitas jaringan (Sylvia
dan Muliawan 2007).
Bakteri
secara tidak langsung dapat merusak melalui jaringan melalui respon imun yang
merugikan penderita yang dilalui dengan tiga cara:
1. Ikatan kompleks imun, terjadinya ikatan antigen dari
bakteri dengan antibodi penderita yang membentuk ikatan kompleks imun dalam
darah. Komplek imun ini biasanya dapat dibuang oleh sel fagositik yang berada
pada anyaman vaskuler sinusoid hati dan limpa sehingga tidak merugikan
penderita. Walaupun begitu, pada keadaan
tertentu kompleks imun dapat tersangkut pada dinding pembuluh darah, yang bila
letaknya pada glomerulus ginjal akan menyebabkan glomerulonefritis. Bila pada
kapiler daerah kulit akan menyebabkan kutaneus vaskulitis.
2. Reaksi silang imun. Pada beberapa imun penderita
mempunyai antigen pada jaringan tubuhnya yang serupa antigen pada beberapa
bakteri. Akibatnya antibodi dari respon pertahanan tubuh akan mengadakan reaksi
silang dengan antigen ynag dikandung
jaringan normal. Contohnya : penyakit demam rematik.
3. Imunitas sel perantara. Besarnya
kerusakan yang ditemukan pada tuberkolosis tidak mencerminkan kepada organisme
penyebab, tetapi kepada respon imun penderita terhadap organisme
(Underwood 1996).
Agresin
merupakan enzim bakterial yang mengkibatkan perubahan kondisi jaringan sehingga
mempermudah tumbuh dan menyebarnya organisme. Pada kedaan ini agresin
menghambat atau berlawanan dengan resistensi tubuh penderita. Sebagai contoh:
-
koagulase dari Staphylococcus aureus
menyebabkan gumpalan fibrinogen intuk membuat pertahanan/batas antara tempat
infeksi dengan reaksi radang.
- sterptokinase dari Streptococcus
pygenes menghancurkan fibrin sehingga memungkinkan penyebaran organisme
dalam jaringan.
- kolagenase dan hialuronidase mengahancurkan substansi
jaringan ikat sehingga memberi fasilitas intuk infiltrasi organisme ke dalam
jaringan (Sylvia dan Muliawan 2007)..
Terdapat
2 jenis toksin (racun) bakteri, yaitu
1.Eksotosin
merupakan
enzim yang dikeluarkan oleh bakteri yang mempunyai efek lokal maupun yang jauh.
Contoh pengaruhnya diantaranya sebagai berikut.
·
kolitis
pseudomembran karena Clostridium
difficile
·
neuropati
dan kardiomiopati karena Corynebacterium
diphteriae
·
tetanus
karena tetanospamin yang diproduksi Clostridium
tetani
·
sindroma
kulit melepuh karena Staphylococcus
aureus
·
diare
karena cAMP oleh Vibrio cholerae
Kadang-kadang
penyakit merupakan hasil dari penghancuran eksotosin sebelum. Mekanisme ini
disebut dengan kasus keracunan makanan. Bentuk yang khas tetapi sangat jarang
yaitu botulism karena kontaminasi
makanan dengan neurotoksin dari Clostridium botulinum. Toksin yang bekerja pada
usus ini sering disebut enterotoksin. Keracunan makanan timbul akibat
tertelannya sel vegeatif dalam jumlah besar yang mengadakan sporulasi
(pembentukan spora) di dalam traktus gastrointestinalis terbentuk enterotoksin.
2. Endotoksin merupakan lipopolisakarida dari dinding sel
bakteri gram negatif (misalnya Escherichia coli). Toksin dilepaskan pada waktu
bakteri mati. Paling poten yaitu lipid A dengan aktivator yang kuat dari complement cascade (menyebabkan kerusakan pada infeksi), coagulation cascade (menyebabkan
koagulasi intravaskular yang luas) dan interleukin-1 yang dilepaskan oleh
leukosit dan menyebabkan demam.
Bila
efek ini sangat hebat, melingkupi seluruh proses infeksi, penderita tersebut
mengalami syok endotoksik. Penderita menjadi demam dan hipotensi dan mungkin
disertai dengan kegagalan jantung dan ginjal (Sylvia dan Muliawan 2007). Berikut
patofisiologi demam tifoid terhadap organ-organ tubuh (Suriadi dan Rita Yuliani
2001).
Gangguan Intake, Pencernaan dan Penyerapan
yang diakibatkan oleh Foodborne Disease
Foodborne
Disease disebabkan akibat konsumsi makanan atau minuman yang telah
terkontaminasi oleh mikroba. Berbagai jenis mikroba patogen dapat mencemari
makanan yang akan menimbulkan penyakit. Penyakit karena patogen asal pangan
dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu infeksi dan intoksikasi
(keracunan).
a.
Salmonella
Salmonelosis
Salmonelosis
adalah penyakit pada saluran gastrointestin yang mencakup perut, usus halus,
dan usus besar atau kolon. Masuknya S.
typhi dan S. paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri.
Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral usus kurang baik maka
bakteri akan menembus sel-sel epitel selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya menuju ke pembuluh darah. (mengakibatkan
bakteremia) kemudian menuju hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri
meninggalkan sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya. Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara ke dalam lumen usus.
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Bakteri itu kemudian menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
sepeti demam, malaise, gangguan mental, koagulasi, dan pendarahan saluran cerna
akibat erosi pembuluh darah.(WHO)
b. Clostridium
Botulisme
Bakteri penghasil botulin adalah Clostridium
botulinum.Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, berbentuk
batang, membentuk spora, dan bersifat anaerob obligat serta mampu menghasilkan
neurotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Toksin botulinum yang dihasilkan
oleh Clostridium adalah racun. Racun
ini menyerang urat syaraf, menyebabkan kelumpuhan pada faring dan diafragma.
Cara kerja toksin ini adalah dengan menghambat pembebasan asetilkolin oleh
serabut syaraf ketika impuls syaraf lewat di sepanjang syaraf tepi. (Syamsul
2005). Selain itu, Clostridium botulinum juga merusak permukaan usus sehingga penyerapan zat gizi menjadi
terhambat.
c. Staphylococcus
Peracunan
makanan oleh Staphylococcus
Salah satu contoh spesiesnya adalah Staphylococcus aureu. Gejala peracunan Staphylococcus
akan segera terlihat setelah menkonsumsi makanan yang telah tercemar.
Gejala yang paling umum adalah mual, muntah, retching (seperti muntah
tetapi tidak mengeluarkan apa pun), kram perut, dan rasa lemas. Beberapa orang
mungkin tidak selalu menunjukkan semua gejala penyakit ini. Dalam kasus-kasus
yang lebih parah, dapat terjadi sakit kepala, kram otot, dan perubahan yang
nyata pada tekanan darah serta denyut nadi. Kehilangan cairan dan elektrolit
dapat menyebabkan kelemahan dan tekanan darah yang rendah (syok) (Syamsul
2005).
Pencegahan dan Terapi di Bidang Gizi
Ada berbagai macam jenis foodborne disease dan tiap
penyakit membutuhkan pengobatan yang berbeda-beda tergantung pada gejala yang
ditimbulkannya. Gejala yang sering muncul terutama diare dan muntah sehingga
dapat menyebabkan dehidrasi jika orang tersebut banyak kehilangan banyak cairan
tubuh terutama elektrolit. Oleh karena itu sangat penting untuk mengganti
cairan tubuh dan elektrolit yang hilang dengan meminum larutan oralit untuk
menjaga asupan cairan tubuh dan mencegah terjadinya dehidrasi. Jika diare dan
kram perut terjadi tanpa disertai dengan demam dapat minum obat anti diare
untuk mengurangi diare. Namun sebaiknya obat ini tidak diberikan jika diare
disertai dengan demam tinggi ataupun diare berdarah. Segera konsultasikan
dengan dokter terdekat.
B. DEMAM
TIFOID
Etiologi Demam Tifoid
Penyebab
demam tifoid adalah bakteri Salmonella
typhi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif, tidak berkapsul, mempunyai
flagela dan tidak membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57oC
selama beberapa menit. Kuman ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk
pemeriksaan laboratorium, yaitu: Antigen O (somatik), Antigen H (flagela) dan
Antigen K (selaput) (Widoyono 2011).
Menurut nomenklatur yang baru, Salmonella dibedakan menurut adanya
keterkaitan DNA-nya, sehingga sekarang hanya terdapat dua spesies Salmonella yaitu Salmonella bongori dan Salmonella
enterica. Manifestasi klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan
daya tahan tubuh. Suatu percobaan pada manusia dewasa menunjukkan bahwa 107
mikroba dapat menyebabkan 50% sukarelawan menderita sakit, meskipun 1000
mikroba jugadapat menyebabkan penyakit.Masa inkubasinya adalah 10-20 hari,
meskipun ada yang menyebut angka 8-14 hari. Adapun pada gejala gastroenteritis
yang diakibatkan oleh paratifoid, masa inkubasinya berlangsung labih cepat,
yaitu sekitar 1-10 hari (Widoyono 2011).
Mikroorganisme
dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam. Jika penderita
diobati dengan benar maka kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada
minggu ke-4. Akan tetapi, jika masih terdapat kuman pada mingguke-4 melalui
pemeriksaan kultur tinja, maka penderita dinyatakan sebagai carrier (Widoyono 2011).
Seorang
carrier biasanya berusia
dewasa,sangat jarang terjadi pada anak.Kuman Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan
berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan untuk
mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella).Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang
melalui tinja yang berpotensi menjadi sumber penularan penyakit (Widoyono
2011).
Tanda
dan Gejala Demam Tifoid
Demam tifoid mengakibatkan 3 kelainan
pokok, yaitu demam berkepanjangan, gangguan sistem pencernaan dan gangguan
kesadaran Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling menonjol.
Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya, seperti anoreksia atau
batuk. Gangguan saluran pencernaan yang sering terjadi adalah konstipasi dan
obstipasi (sembelit), meskipun diare juga bisa terjadi. Gejala lain pada
saluran pencernaan adalah mual, muntah atau perasaan tidak enak di perut. Pada
kondisi yang parah, demam tifoid bisa disertai dengan gangguan kesadaran yang
berupa penurunan kesadaran ringan, apatis, somnolen hingga koma. Komplikasi
yang bisa terjadi diantaranya perforasi usus, pendarahan usus dan neuropsikiatri
(koma) (Widoyono 2011).
Diagnosis pasti bisa dibuat
berdasarkan adanya Salmonella dari darah melaluikutur. Karena isolasi
Salmonella relatif sulit dan lama, maka pemeriksaan serologi Widal untuk
mendeteksi antigen O dan H sering dipakai sebagai alternatif, meskipun sekitar
30% penderita menunjukkan titer yang tidak meningkat (Widoyono 2011).
Pemeriksaan
Widal akan menunjukkan hasil yang signifikan apabila dilakukan secara serial
per minggu, dengan adanya peningkatan titer sebanyak 4 kali.Nilai titer yang
dianggap positif demam positif tergantung daritingkat endemisitas daerahnya
(Widoyono 2011).
Patofisiologi Demam Tifoid
Prinsip
penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau
urin penderita atau bahkan carrier yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui
air dan makanan. Mekanisme makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri
sangat bervariasi. Kontaminasi dapat juga terjadi pada sayuran mentah dan
buah-buahan yang pohonnya dipupuk dengan kotoran manusia. Vektor berupa
serangga (antara lain lalat) juga berperan dalam penularan penyakit (Widoyono
2011).
Kuman
Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada
dalam usus halus
kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (teutama Plak Peyer)
dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose
setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi
primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak
difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut
membesar disertai nyeri pada perabaan (Suriadi
dan Rita 2001).
Pada
akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi
sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus
halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut
dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran
pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus(Suriadi dan Rita 2001).
Kuman Salmonella dapat berkembang biak untuk
mencapai kadar infektif dan bertahan lama dalam makanan. Makanan yang sudah
dingin dan dibiarkan di tempat terbuka merupakan media mikroorganisme yang
lebih disukai. Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara massal sering
bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) (Widoyono
2011).
Selain penderita tifoid, sumber penularan utama berupa carrier. Di
daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit.
Adapun di daerahnon-endemik,makanan yang terkontaminasi oleh carrier dianggap
paling bertanggung jawab terhadap penularan (Widoyono 2011).
Gangguan Intake, Pencernaan dan Penyerapan
yang diakibatkan oleh Demam Tifoid
Gangguan disebabkan oleh Salmonella
pada saluran pencernaan antara lain,pada mulut terdapat nafas berbau tidak
sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden), lidah ditutupi selaput putih
kotor (coated tongue, lidah tifoid), ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen terjadi splenomegali dan hepatomegali dengan
disertai nyeri tekan. Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, kadang diare, mual,
muntah, tapi kembung jarang (Trice and filson1995).
Pencegahan
dan Terapi di Bidang Gizi
Kebersihan
makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan demam tifoid. Merebus air
minum dan makanan sampaia mendidih juga sangat membantu. Sanitasi lingkungan,
termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit.
Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal-hal berikut
:
1. Penyediaan sumber air minum yang baik.
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air samapai
mendidih sebelum diminum
5. Pemberantasan lalat
6. Pengawasan kepasa para penjual makanan
dan minuman
7. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu
menyusui
8. Imunisasi
Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain:
·
Istirahat
dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Penderitasebaiknya beristirahat total di tempat idu
selama 1 minggu setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat mekamisme penularan penyakit ini,
kebersihan perorangan perlu dijaga kerena ketidakberdayaan pasien untuk biang
air besar dan air kecil.
·
Terapi
penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet
Agar tidak memperberat kerja usus, pad tahap awal
penderita diberi makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat
diberi makanan yang lebih padat dan padaakhirnya nasi biasa,sesuai dengan
kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu
dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono 2011).